MALPRAKTEK ANALISA EKSPRESI WAJAH dan GESTURE dalam kasus MIRNA
Mengapa kasus Mirna ? Mengapa sidang Jessica ? Apakah relevansi nya dengan dunia kerja/bisnis ?
Karena teknik analisa ekspresi wajah dan gesture bisa diterapkan di dalam konteks Leadership, Teamwork, Penilaian Kerja, Rekrutment Fraud & Theft Internal Audit di dunia kerja/bisnis. Analisa ekspresi wajah dan gesture yang dilakukan terhadap Jessica, Hanie, Arief, atau bahkan Pak Otto Hasibuan, juga bisa dilakukan pada pelamar kerja, staff Anda, rekan kerja Anda, bahkan atasan Anda. Teknik analisa ekspresi wajah dan gesture ini berlaku universal. Kebetulan saja, saya melihat banyak malpraktek dilakukan di dalam pengusutan dan persidangan kasus kopi beracun Mirna ini.
Mudah2an bahasan ini juga menarik minat Bpk/Ibu untuk belajar analisa mikro ekspresi / microexpression (analisa ekspresi wajah). Akan semakin baik lagi apabila Bpk/Ibu juga mau belajar ilmu deteksi bohong.
——
Pembahasan ini bersifat objektif, secara keilmuan, sekalipun saya diundang Polda Metro Jaya untuk menganalisa komunikasi verbal dan nonverbal di semua cctv dan whatsapp group dari Jessica-Hanie-Vera-Mirna di kasus kopi beracun.
Saya sengaja membahas topik ini, karena sudah terlalu banyak malpraktek yang dilakukan banyak “ahli ekspresi wajah” atau “pendeteksi kebohongan”. Dan, malpraktek ini sangat berbahaya.
Bila Anda penggemar film seri Fox berjudul Lie to Me, Anda juga harus tahu bahwa gosipnya serial ini dihentikan karena fans film ini telah melakukan malpraktek sejumlah teknik analisa deteksi emosi dan kebohongan yang dipertunjukkan di serial ini.
Saya tidak ingin malpraktek ini juga terjadi di dunia kerja, gara-gara Anda membaca artikel atau menyaksikan tayangan TV yang memuat pandangan atau hasil analisa teknik ekspresi wajah dan gesture yang malpraktek.
5 Malpraktek itu adalah:
#1. Menilai Karakter dari Ekspresi Wajah atau Gestur.
Saya seringkali diminta lawan bicara yang tahu profesi saya untuk menganalisa karakter nya. Saya melakukan malpraktek bila melakukannya.
Teknik Ekspresi Wajah (Facial Expression) bukanlah teknik Raut Wajah (Face Reader).
Teknik Raut Wajah yang pertama kali dipergunakan oleh leluhur bangsa Tiongkok ini belum memiliki basis riset keilmuan yang kuat, namun memang sudah dipergunakan turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Teknik ini dipercaya bisa mengenali karakter, perilaku bahkan nasib setiap orang.
Di persidangan Jessica, beberapa waktu lalu, ada sedikitnya satu orang ahli yang menyatakan bahwa Jessica keliatan seorang pembohong dari wajahnya. Misalnya, keliatan dari mata-nya atau keliatan dari raut wajahnya.
Ini bukan teknik analisa Ekspresi Wajah. Ini adalah teknik Raut Wajah. Dan, saya tidak tahu juga apakah betul yang dikatakan ahli tersebut. Tetapi, bila sang ahli mengatakan ini adalah teknik analisa Ekspresi Wajah, maka ahli tersebut telah melakukan malpraktek.
Teknik Ekspresi Wajah memiliki dasar riset keilmiahan yang kuat dan terus menerus terbukti valid sejak 35 tahun yang lalu. Dan, teknik ini hanya bisa mengenali emosi asli yang ada dipikirkan dan dirasakan seseorang. Teknik ini bersifat universal. Bisa dilakukan pada setiap orang, tua muda bahkan bayi, sehat bahkan cacat, pria wanita gay lesbian transgender, pintar bodoh, sekolah tinggi ataupun tidak sekolah, kaya miskin, modern tradisional, beradab ataupun masih tinggal mengasingkan diri di pedalaman, profesi apapun, etnis apapun, sehat ataupun sakit (secara umum) dan sebagainya.
Di sisi lain, teknik Analisa Gesture adalah teknik analisa yang perlu mempertimbangkan asal etnis dan budaya seseorang, tempat tinggal, anatomi tubuh, kebiasaan duduk berjalan berlari berpikir berkomunikasi, profesi, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, tingkat kesehatan, konteks saat melakukan gesture, dan sebagainya. Teknik Analisa Gesture yang berkembang luas diajarkan dimana-mana adalah teknik analisa gesture berdasarkan pengalaman dalam dunia kriminal ataupun dalam dunia kerja/bisnis di dunia barat (Amerika khususnya), yang diajarkan oleh mantan FBI ataupun trainer/konsultan bisnis. Teknik inipun tidak bisa menjabarkan karakter, perilaku, apalagi nasib seseorang.
#2. Menilai PERASAAN,MOOD,atau EMOSI LAIN dari Ekspresi Wajah
Teknik Ekspresi Wajah juga tidak bisa menganalisa hal lain atau “perasaan, mood, emosi” selain 7 emosi dasar, yaitu terkejut, senang, sedih, takut, marah, jijik dan mencibir (merasa diri lebih baik).
Jatuh Cinta bukan emosi, itu perasaan. Teknik Ekspresi Wajah tidak valid 100% untuk menilai apakah seseorang jatuh cinta atau tidak. Begitu juga benci dan dendam.
Minder ataupun Pede juga bukan emosi. Ini karakter. Adalah malpraktek bila ada seorang “ahli ekspresi wajah” yang menyatakan Jessica seorang pede dari ekspresi wajahnya. “Ahli” ini mungkin menggunakan ilmu membaca raut wajah (Face Reader). Begitu juga dengan Lugu atau Brengsek-nya seseorang dari ekspresi Wajah. Ini malpraktek bila dilakukan “ahli”.
Saya pernah membaca hasil analisa “ekspresi wajah” dari seorang yang mengaku “ahli” tentang gerakan alis mata Jessica yang naik itu menunjukkan ia berpikir dan puas. Ini malpraktek.
Statement “alis orang yang berpikir” ini perlu diluruskan. Setiap detik, manusia memikirkan sesuatu. Bukan berarti bahwa bila alis tidak naik, Jessica tidak berpikir. Jessica juga berpikir sekalipun alis nya tidak bergerak. Lagipula, alis mata yang naik bukanlah tanda universal bagi orang yang sedang berpikir keras. Justru, tanda universalnya adalah alis mata yang turun atau berkernyit.
Puas atau Tidak Puas nya seseorang juga perlu diverifikasi lebih dalam. Puas bisa memiliki lebih dari 1 gabungan emosi. Seseorang yang puas bisa berarti ia senang, bisa juga berarti dia senang dan mencibir seseorang. Dan yang jelas, puas atau tidak puas nya seseorang tidak bisa dilihat dari alis mata. Justru, tanda universal dari emosi gembira dan superlative (nyinyir/merasa diri hebat) adalah di bibir seseorang. Bukan di alis mata. Dengan kata lain, dari naiknya alis mata, ataupun turunnya alis mata, kita belum bisa mengatakan seseorang merasa dirinya gembira ataupun merasa dirinya hebat. Kalau betul ini hasil analisa sang “Ahli”, bukan salah ketik dari jurnalis, jelas “Ahli” ini melakukan malpraktek atau sang “Ahli” bukanlah AHLI.
#3. Menilai Kebohongan dari Ekspresi Wajah atau Gesture
Saya sering sekali diberikan foto oleh wartawan ataupun klien dan diminta untuk menilai apakah ekspresi wajah atau gesture seseorang di foto tersebut adalah bohong atau jujur. Kalau ada “ahli ekspresi” yang bisa melakukannya, dengan tegas saya menyatakan bahwa ini malpraktek.
Sesuai penjelasan saya di atas, ekspresi wajah hanya bisa menyatakan emosi apa yang dipikirkan/dirasakan seseorang. Tidak bisa menyatakan apakah komunikasi verbal yang dilakukannya adalah jujur atau bohong. Bahkan, tidak bisa menyatakan komunikasi nonverbal yang ditunjukkannya adalah jujur atau bohong juga.
Dari sebuah foto, Anda tidak bisa menilai apakah seseorang berkata jujur atau bohong. Dari sebuah video clip audio visual, Anda bisa menilai apakah ekspresi wajah seseorang selaras dengan perkataannya (jujur) atau bohong.
Penjelasan saya ini memberikan arti yang jelas bahwa tanpa tahu apa konteks pembicaraan dan isi pembicaraan saat foto tersebut diambil, seorang “ahli” melakukan malpraktek bila ia bisa menyatakan Jessica jujur atau bohong dari foto-nya tersebut. Atau, ia menggunakan teknik Raut Wajah (Face Reader). Bukan teknik Ekspresi Wajah.
Penjelasan saya ini berlaku juga untuk analisa gesture. Anda membutuhkan konteks pembicaraan dan isi pembicaraan saat foto dengan gesture terkait dibuat.
Hal ini harus Anda pahami juga bahwa tingkat validitas analisa kebohongan dengan menggunakan medium ekspresi wajah dan gesture bisa menjadi 0% (alias betul-betul ngawur) apabila tidak diketahui isi dan gaya komunikasi verbal saat ekspresi wajah dan gesture tersebut muncul. Dengan kata lain, bila ada seseorang yang menyatakan dirinya “Pendeteksi Kebohongan), tetapi tidak menguasai teknik analisa komunikasi verbal, Anda harus mempertanyakan keahlian orang ini. Bahkan, bila orang ini mengaku menguasai teknik analisa komunikasi verbal, Anda harus juga memvalidasi dimana beliau belajar dan apakah metode pengajarannya. Kualitas metode belajar teknik analisa komunikasi verbal secara online tentu amat berbeda dengan metode belajar tatap muka. Belajar otodidak dari buku atau belajar dari training seseorang yang juga belajarnya otodidak tentu juga mempengaruhi kualitas keahlian Anda. Anda bahkan sangat teramat disarankan untuk menguji langsung “guru Lie Detector” Anda. Bila hanya teori saja, ini jelas “Pendeteksi Kebohongan” yang berbohong pada Anda.
Yang bisa mendeteksi kebohongan bukanlah Ahli Ekspresi Wajah, tetapi Pendeteksi Kebohongan alias Human Lie Detector. Human Lie Detector pasti bisa menganalisa ekspresi wajah, gesture, suara, kata-kata, gaya bicara bahkan reaksi Automatic Nervous System. Ahli Ekspresi Wajah dan atau Gesture ya hanya bisa analisa wajah dan gesture saja.
Hal ini juga saya sampaikan untuk meluruskan pemahaman JPU, Penasehat Hukum, bahkan Hakim yang malah menanyakan makna ekspresi wajah, gerak gerik atau gesture Jessica-Mirna-Hanie pada seorang Ahli IT. Kecuali, Ahli IT ini mempelajari teknik analisa ekspresi wajah dan gesture atau teknik Human Lie Detector. Bila hal ini ditanyakan kepada Ahli IT yang tidak bisa teknik2 tersebut, jelas ini adalah ajakan pada sang Ahli IT untuk melakukan malpraktek.
Apabila sang “Ahli” sudah menerapkan teknik ekspresi wajah dan gesture secara tepat seperti saya sebutkan di atas, sang “Ahli” bisa membantah secara ilmiah pandangan dari Penasehat Hukum Jessica yang menyatakan bahwa analisa ekspresi wajah atau gesture Jessica tidak valid karena dilakukan terhadap rekaman video yang sudah dipindahkan dari cctv ke tape dvd atau ke usb.
Mengapa pendapat ini bisa dibantah ? Hal pertama adalah image yang dipergunakan untuk analisa memiliki nomor pixel atau Frame tertentu. Anda bisa mencopas sebuah foto, tetapi Anda tidak bisa mencopas sebuah Frame Tertentu dari sebuah video audio visual. Anda mungkin bisa mencopas satu video clip dengan video clip lainnya, tetapi pergerakan ekspresi wajah dan gesture seseorang pasti berlainan. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa menggabungkan pergerakan pixel atau frame yang berlainan dalam sebuah video audio visual yang menjadi satu kesatuan dengan video yang dicopas.
#4. Menilai Kebohongan dari Momen Umum dalam lingkup hari atau jam tertentu
Lebih spesifik lagi, seorang “ahli” juga melakukan malpraktek apabila ia menyatakan hasil analisa-nya secara umum. Misalnya, “Ahli” yang menyatakan bahwa Jessica jujur di persidangan dengan saksi Ahli tertentu pada tanggal/bulan/tertentu. Ini malpraktek.
Orang manapun, termasuk Jessica, menunjukkan lebih dari 1 ekspresi wajah setiap kali mengamati dan mendengar pertanyaan Penasehat Hukum/Jaksa Penuntut Hukum/Hakim. Topik yang dibicarakan dalam setiap sidang lebih dari satu. Dan setiap topic, terdapat lebih dari 1 subtopik dan lebih dari satu kalimat berbeda yang diucapkan, dimana setiap subtopik,paragraf, kalimat yang diucapkan ini memberikan stimulasi berbeda di otak Jessica. Stimulasi yang berbeda di otak Jessica akan menghasilkan emosi yang berbeda juga. Emosi yang berbeda akan memerintahkan otot wajah dan gesture yang juga berbeda. Bahkan, untuk emosi yang sama sekalipun, ekspresi wajah dan gesture yang ditunjukkan bisa berbeda.
Itu sebabnya, di dalam setiap kali saya menganalisa ekspresi wajah dan gesture, saya menunjukkan nomor pixel atau nomor Frame di video clip yang jadi obyek analisa, disertai topik, subtopic, paragraf, ataupun kalimat spesifik yang diucapkan oleh Jessica/Penasehat Hukum/Jaksa Penuntut Hukum/Hakim. Indikasi waktu saja tidak cukup (jam berapa, menit keberapa, detik keberapa) karena setiap jam, menit, dan detik bisa memiliki kalimat, paragraf, subtopic, topic yang berbeda yang menstimulasi otak untuk menghasilkan feedback emosi yang berbeda.
Seorang “Ahli” bisa melakukan kesalahan atau malah bisa malpraktek apabila ia hanya menyebutkan indikasi waktu.
#5. Menilai Pikiran/Motivasi di balik Ekspresi Wajah atau Gestur
Ini seringkali saya lihat atau saya baca di banyak artikel berita tentang Jessica. Kenyataannya, setahu saya, teknik Face Reader pun tidak bisa memastikan apa yang sedang dipikirkan seseorang di balik raut wajah-nya. Apalagi, teknik Face Expression (Ekspresi Wajah). Seorang “Ahli” jelas melakukan malpraktek bilamana ia bisa menyatakan apa yang sedang dipikirkan seseorang di balik ekspresi wajah atau gesture nya. Kecuali, ia menggunakan disiplin ilmu yang lain. Misalnya, seorang kriminolog, JPU, Penasehat Hukum, atau Polisi Penyidik yang juga memahami teknik analisa ekspresi wajah dan gesture.
Ada 3 contoh yang terkenal.
Contoh pertama adalah nangisnya Jessica ketika Hakim Binsar mengatakan ia pernah menghukum orang sekalipun tidak ada barang bukti langsung. Banyak “Ahli” atau masyarakat mengatakan bahwa ini adalah bukti Jessica ketakutan alias bukti Jessica memang membunuh Mirna. Nangis memang salah satu tanda seseorang bersedih. Namun, nangis sebagai bukti pasti Jessica ketakutan adalah kekeliruan atau bahkan bisa jadi sebuah malpraktek. Nangis ada berbagai macam, mulai dari tangis bahagia, tangis sedih, hingga tangis ketakutan. Kalau memang tangis yang dimaksud adalah tangis ketakutan, “Ahli” perlu menunjukkan tanda-tanda di wajah yang berisi emosi sedih dan takut tersebut, pada sebuah foto yang diambil dari nomor pixel atau nomor frame tertentu.
Contoh kedua yang terkenal di dalam sidang Jessica adalah hasil analisa gerakan tangan Jessica yang seperti menggaruk-garuk celana atau saling menggaruk-garuk telapak tangannya. Ini tidak ada kaitannya dengan posisi sebagai bagian dari Team Ahli Polda Metro Jaya yang pernah menganalisa Jessica – Mirna – Hanie dalam rekaman cctv ataupun whatsapp nya. Sebagai AHLI, saya ingin menyatakan bahwa menyatakan garukan tangan tersebut sebagai 100% akibat gatal karena sianida adalah hasil analisa yang malpraktek. Hipotesa boleh, tapi kesimpulan 100% ini adalah akibat sianida, adalah sebuah malpraktek analisa ekspresi gesture.
Contoh “last but not least” yang terkenal adalah ekspresi gesture pasif-tidak membantu penyelamatan Mirna. Selain perlu validasi dari ekspresi wajah, seorang AHLI membutuhkan sedikitnya satu lagi teknik dan hasil analisa untuk membuktikan bahwa gesture pasif ini adalah BUKTI Jessica memang sengaja tidak membantu alias BUKTI bahwa Jessica pembunuh Mirna. AHLI membutuhkan satu hasil analisa test psikologi yang memfokuskan pada karakter, kebiasaan, pemikiran / nilai hidup, dan perilaku Jessica. Bila secara hasil test ini dinyatakan bahwa seharusnya Jessica akan aktif membantu penyelamatan sahabatnya, Mirna, maka ekspresi pasif tersebut bisa menjadi hipotesa yang kuat. Dan bila ditambah dengan ekspresi emosi yang takut atau senyum gembira/senyum kemenangan dan barang bukti secara hukum, seorang AHLI baru bisa menyimpulkan memang Jessica sengaja tidak membantu atau Jessica memang membunuh Mirna.
Demikianlah pembahasan saya kali ini.
Terima kasih telah menyimak.
P.S:
- Buku Lie Detector (judulnya: Mendeteksi Kebohongan) habis di banyak Gramedia. Mohon japri ke me@handokogani.com atau handoko_g@yahoo.com untuk informasi lebih detail
- Untuk IHT Training, cek penawaran spesial selama Oktober: http://wp.me/p4S2VJ-qz
- Untuk Seminar Lie Detector (Seminar Deteksi Bohong) secara online dengan topik Belajar Analisa Mikro Ekspresi (Micro Expression), Analisa Gestur, ataupun Analisa Kata-Kata Verbal
- – Selama LUNCHTIME: http://wp.me/p4S2VJ-v4
- – Di malam hari, sehabis ngantor (jam 830-1030): http://wp.me/p4S2VJ-q0
Salam hormat,
Handoko Gani
Pendeteksi Kebohongan
Human Lie Detector Indonesia
Website: http://www.handokogani.com
Twitter: LieDetectorID
Email: me@handokogani.com ; handoko_g@yahoo.com
- Team Ahli Kepolisian untuk kasus kriminal tertentu, antara lain: kasus kopi beracun
- Narasumber Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan, mulai dari team HRD, Public Relation, Team Monitoring (Intel), Penyelidik, Penyidik, Penindakan hingga Jaksa Penuntut Umum, termasuk yang berlatar belakang polisi, jaksa, dan hakim.
- Narasumber berbagai perusahaan swasta
- Narasumber media, termasuk narasumber khusus Harian Kompas untuk analisa komunikasi verbal dan nonverbal dari Presiden Jokowi, dan Penulis Kolom di Kompas.com
- Penulis buku “Mendeteksi Kebohongan”
Tinggalkan Balasan